INDAHNYA ISLAM

Cari Blog Ini

Selasa, 08 November 2011

Menikah Tidak Harus dengan Cinta

 Judul tersebut diatas sebenarnya adalah sebuah ungkapan dari seorang sahabat, yang sudah saya anggap sebagai abang saya sendiri. Dan salah satu dari materi kajian di sebuah majelis ilmu sering membahas tema tersebut yang merupakan materi “wajib” bagi jamaah yang sebagian besar adalah bujangan.
Menikah merupakan sebuah ritual suci yang hampir semua bujangan selalu mengidam idamkannya, terkecuali orang yang sudah berputus asa dan enggan untuk menikah. Namun demikian, ketika seseorang dihadapkan kepada sebuah tahapan agar membuat sebuah keputusan untuk menikah, maka banyak pertanyaan di benaknya mengenai kriteria, pilihan, godaan, hingga tata cara bagaimana prosesi pernikahan itu sendiri.
Salah satu alasan bagi seseorang berazam dan mau menikah adalah cinta. Memang “cinta” adalah sebuah perasaan yang bagi seseorang yang mengalaminya akan membuat dirinya merasa terhibur, senang atau bahagia dan bahkan seperti melambung tinggi serasa di atas awan. Seseorang yang sedang jatuh cinta hatinya akan selalu berbunga-bunga. Seseorang yang sedang jatuh akan berusaha mengungkapkan kata-kata yang indah. Terkadang seseorang yang sedang jatuh cinta akan menjadi orang yang bukan dirinya sendiri. Seseorang yang tidak biasa membuat puisi karena jatuh cinta ia terkadang akan dengan mudahnya menyusun deretan kosa kata menjadi sebuah puisi yang indah.
Banyak sekali kisah, roman, novel hingga legenda yang menceritakan orang-orang yang sedang jatuh cinta. Ada yang berakhir bahagia, tetapi juga ada yang berakhir dengan tragis atau anti klimaks. Dari semuanya itu berisi haru biru perjalanan sebuah kisah cinta.
Kembali ke judul diatas. Sebagian dari kita mungkin sebelum menapaki sebuah jenjang pernikahan, terlebih dahulu dilalui dengan proses jatuh cinta. Sebuah cintalah yang mengantarkannya hingga ke pernikahan. Namun demikian, apakah sebuah pernikahan harus dengan cinta ?.
Setelah wafatnya Sayyidah Khadijah ra, tidak ada satu orang pun yang berani menayakan kepada Rasulullah SAW mengenai pernikahan. Pada akhirnya, Khaulah binti Hakim dengan bimbingan dari Allah SWT memberanikan diri menanyakannya. Diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah ra, ia berkata, “Ketika Sayyidah Khadijah ra meninggal dunia, Khaulah binti Hakim bin Auqashra, istri Utsman bin Mazh’un, berkata kepada Rasulullah SAW- dan hal ini terjadi di Mekkah-, “Wahai Rasulullah tidakkah baginda ingin menikah ?” Beliau berkata, ” Dengan siapa ?”. Khaulah binti Hakim berkata, ” Ada dua wanita, yang satu gadis dan yang satunya lagi sudah janda.” Rasulullah SAW berkata, ” Siapa yang masih gadis ?” Khaulah binti Hakim berkata, ” Ia adalah putri dari orang yang paling baginda cintai, Aisyah binti Abu Bakar ra”. Rasulullah SAW berkata, ” Lalu yang janda siapa ?” Khaulah binti Hakim berkata,” Saudah binti Zam’ah ra, ia adalah wanita yang mulia yang beriman kepadamu.” Rasulullah SAW berkata, ” Kalau begitu berangkatlah kamu dan tanyakan kamu kepadanya (Saudah binti Zam’ah) dan tanyakan kepadanya apakah ia bersedia.” (HR. Att Thabarani). Di dalam riwayat lain, kemudian Khaulah binti Hakim berangkat ke rumah Saudah bin Zam’ah dan menanyakan kesediaannya untuk menjadi istri Rasullah SAW. Akhirnya dengan suka cita Saudah menerimanya, pernikahan pun dilangsungkan.
Hadits tersebut diatas hanyalah salah satu contoh, dari sekian banyak proses pernikahan Rasulullah SAW. Dari riwayat tersebut di atas proses menuju pernikahan yang dilakukan Rasullah SAW sangatlah singkat. Dan demikian juga pernikahan beliau dengan istri-istri yang lain. Namun demikian, kecintaan Rasulullah SAW dengan istri-istrinya timbul setelah pernikahan. Pasangan mana yang bisa menandingi keharmonisan dan kebahagiaan dibandingkan dengan Rasulullah SAW dengan istri-istrinya? Rasulullah SAW adalah seorang suami yang sangat romantis, meski istri-istrinya sebagian besar tidak banyak beliau kenal sebelumnya. Beliau tidak segan-segan memeluk, membelai, menyapa dengan sapaan yang menyenangkan, menggendong , memasak, sampai dengan bersenda gurau dengan istri-istrinya.
Perasaan jatuh cinta atau jatuh hati seseorang kepada orang lain sebelum terjadinya pernikahan bagi sebagian orang adalah suatu hal yang bisa dimaklumi. Seorang laki laki yang mencintai wanita, atau sebaliknya adalah sebuah fitrah manusia yang merupakan nikmat di dunia yang telah Allah SWT berikan.
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS.3.14)
Tetapi apakah benar, seorang yang jatuh cinta itu benar-benar akan menunjukkan cintanya ? Atau mungkin hanya nafsu syahwat belaka. Apakah dengan perasaan cintanya, langsung serta merta meng-azamkannya untuk segera menikah ? Pada kenyataannya tidak otomatis demikian. Justeru dengan “perasaan cinta” yang dimiliki, banyak orang yang larut dengan “dunia cinta” nya. Sebagian orang malah membiarkan perasaan cintanya sampai berbulan-bulan dan bahkan sampai bertahun-tahun. Semakin lama seseorang dalam “dunia cinta” nya, maka ia akan semakin hanyut dan terlena.
Berapa banyak orang yang jatuh cinta pada akhirnya mereka pun tenggelam dengan berpacaran. Orang yang sudah tenggelam dengan pacaran, maka ia pun akan semakin larut dengan nafsunya.
Permasalahannya lain yang timbul adalah ketika seseorang sudah jatuh cinta dan sepakat untuk pacaran  bukan sepakat untuk menikah, maka perasaan cinta yang sudah larut tersebut akan terbawa terus, bahkan selama hidupnya seseorang akan ingat bagaimana waktu ia jatuh cinta. Sehingga, seandainya ia menikah dengan orang lain, maka kehidupannya sedikit banyak akan dipengaruhi memori pada saat dia jatuh cinta dengan orang lain tersebut. Ini belum apabila dia “patah hati” atau “putus cinta”. Sudah banyak orang yang gila gara-gara masalah ini. Sudah banyak orang yang nekad bunuh diri karenanya. Dan sudah banyak orang yang tidak mau menikah sampai seumur hidupnya gara-gara masalah ini. Inilah yang perlu diwaspadai.
Hati kita cuma satu, maka berhati-hatilah kalau kita jatuh hati. Maka kenalilah cinta sebelum kita jatuh cinta, tetapi menikah tidak harus dengan cinta. Wallahu a’lam bishowab.
***