INDAHNYA ISLAM

Cari Blog Ini

Selasa, 08 November 2011

Menikah Tidak Harus dengan Cinta

 Judul tersebut diatas sebenarnya adalah sebuah ungkapan dari seorang sahabat, yang sudah saya anggap sebagai abang saya sendiri. Dan salah satu dari materi kajian di sebuah majelis ilmu sering membahas tema tersebut yang merupakan materi “wajib” bagi jamaah yang sebagian besar adalah bujangan.
Menikah merupakan sebuah ritual suci yang hampir semua bujangan selalu mengidam idamkannya, terkecuali orang yang sudah berputus asa dan enggan untuk menikah. Namun demikian, ketika seseorang dihadapkan kepada sebuah tahapan agar membuat sebuah keputusan untuk menikah, maka banyak pertanyaan di benaknya mengenai kriteria, pilihan, godaan, hingga tata cara bagaimana prosesi pernikahan itu sendiri.
Salah satu alasan bagi seseorang berazam dan mau menikah adalah cinta. Memang “cinta” adalah sebuah perasaan yang bagi seseorang yang mengalaminya akan membuat dirinya merasa terhibur, senang atau bahagia dan bahkan seperti melambung tinggi serasa di atas awan. Seseorang yang sedang jatuh cinta hatinya akan selalu berbunga-bunga. Seseorang yang sedang jatuh akan berusaha mengungkapkan kata-kata yang indah. Terkadang seseorang yang sedang jatuh cinta akan menjadi orang yang bukan dirinya sendiri. Seseorang yang tidak biasa membuat puisi karena jatuh cinta ia terkadang akan dengan mudahnya menyusun deretan kosa kata menjadi sebuah puisi yang indah.
Banyak sekali kisah, roman, novel hingga legenda yang menceritakan orang-orang yang sedang jatuh cinta. Ada yang berakhir bahagia, tetapi juga ada yang berakhir dengan tragis atau anti klimaks. Dari semuanya itu berisi haru biru perjalanan sebuah kisah cinta.
Kembali ke judul diatas. Sebagian dari kita mungkin sebelum menapaki sebuah jenjang pernikahan, terlebih dahulu dilalui dengan proses jatuh cinta. Sebuah cintalah yang mengantarkannya hingga ke pernikahan. Namun demikian, apakah sebuah pernikahan harus dengan cinta ?.
Setelah wafatnya Sayyidah Khadijah ra, tidak ada satu orang pun yang berani menayakan kepada Rasulullah SAW mengenai pernikahan. Pada akhirnya, Khaulah binti Hakim dengan bimbingan dari Allah SWT memberanikan diri menanyakannya. Diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah ra, ia berkata, “Ketika Sayyidah Khadijah ra meninggal dunia, Khaulah binti Hakim bin Auqashra, istri Utsman bin Mazh’un, berkata kepada Rasulullah SAW- dan hal ini terjadi di Mekkah-, “Wahai Rasulullah tidakkah baginda ingin menikah ?” Beliau berkata, ” Dengan siapa ?”. Khaulah binti Hakim berkata, ” Ada dua wanita, yang satu gadis dan yang satunya lagi sudah janda.” Rasulullah SAW berkata, ” Siapa yang masih gadis ?” Khaulah binti Hakim berkata, ” Ia adalah putri dari orang yang paling baginda cintai, Aisyah binti Abu Bakar ra”. Rasulullah SAW berkata, ” Lalu yang janda siapa ?” Khaulah binti Hakim berkata,” Saudah binti Zam’ah ra, ia adalah wanita yang mulia yang beriman kepadamu.” Rasulullah SAW berkata, ” Kalau begitu berangkatlah kamu dan tanyakan kamu kepadanya (Saudah binti Zam’ah) dan tanyakan kepadanya apakah ia bersedia.” (HR. Att Thabarani). Di dalam riwayat lain, kemudian Khaulah binti Hakim berangkat ke rumah Saudah bin Zam’ah dan menanyakan kesediaannya untuk menjadi istri Rasullah SAW. Akhirnya dengan suka cita Saudah menerimanya, pernikahan pun dilangsungkan.
Hadits tersebut diatas hanyalah salah satu contoh, dari sekian banyak proses pernikahan Rasulullah SAW. Dari riwayat tersebut di atas proses menuju pernikahan yang dilakukan Rasullah SAW sangatlah singkat. Dan demikian juga pernikahan beliau dengan istri-istri yang lain. Namun demikian, kecintaan Rasulullah SAW dengan istri-istrinya timbul setelah pernikahan. Pasangan mana yang bisa menandingi keharmonisan dan kebahagiaan dibandingkan dengan Rasulullah SAW dengan istri-istrinya? Rasulullah SAW adalah seorang suami yang sangat romantis, meski istri-istrinya sebagian besar tidak banyak beliau kenal sebelumnya. Beliau tidak segan-segan memeluk, membelai, menyapa dengan sapaan yang menyenangkan, menggendong , memasak, sampai dengan bersenda gurau dengan istri-istrinya.
Perasaan jatuh cinta atau jatuh hati seseorang kepada orang lain sebelum terjadinya pernikahan bagi sebagian orang adalah suatu hal yang bisa dimaklumi. Seorang laki laki yang mencintai wanita, atau sebaliknya adalah sebuah fitrah manusia yang merupakan nikmat di dunia yang telah Allah SWT berikan.
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS.3.14)
Tetapi apakah benar, seorang yang jatuh cinta itu benar-benar akan menunjukkan cintanya ? Atau mungkin hanya nafsu syahwat belaka. Apakah dengan perasaan cintanya, langsung serta merta meng-azamkannya untuk segera menikah ? Pada kenyataannya tidak otomatis demikian. Justeru dengan “perasaan cinta” yang dimiliki, banyak orang yang larut dengan “dunia cinta” nya. Sebagian orang malah membiarkan perasaan cintanya sampai berbulan-bulan dan bahkan sampai bertahun-tahun. Semakin lama seseorang dalam “dunia cinta” nya, maka ia akan semakin hanyut dan terlena.
Berapa banyak orang yang jatuh cinta pada akhirnya mereka pun tenggelam dengan berpacaran. Orang yang sudah tenggelam dengan pacaran, maka ia pun akan semakin larut dengan nafsunya.
Permasalahannya lain yang timbul adalah ketika seseorang sudah jatuh cinta dan sepakat untuk pacaran  bukan sepakat untuk menikah, maka perasaan cinta yang sudah larut tersebut akan terbawa terus, bahkan selama hidupnya seseorang akan ingat bagaimana waktu ia jatuh cinta. Sehingga, seandainya ia menikah dengan orang lain, maka kehidupannya sedikit banyak akan dipengaruhi memori pada saat dia jatuh cinta dengan orang lain tersebut. Ini belum apabila dia “patah hati” atau “putus cinta”. Sudah banyak orang yang gila gara-gara masalah ini. Sudah banyak orang yang nekad bunuh diri karenanya. Dan sudah banyak orang yang tidak mau menikah sampai seumur hidupnya gara-gara masalah ini. Inilah yang perlu diwaspadai.
Hati kita cuma satu, maka berhati-hatilah kalau kita jatuh hati. Maka kenalilah cinta sebelum kita jatuh cinta, tetapi menikah tidak harus dengan cinta. Wallahu a’lam bishowab.
***

Selasa, 18 Oktober 2011

Seperti inikah kelakuanmu hai para wanita ???

Dan siapakah nama wanita itu? Dia adalah Muti’ah. Kaget? Sama seperti Siti Fatimah ketika itu, yang mengira dirinyalah yang pertama kali masuk surga.
Siapakah Muti’ah? Karena rasa penasaran yang tinggi, Siti Fatimah pun mencari seorang wanita yang bernama Muti’ah ketika itu. Beliau juga ingin tahu, amal apakah yang bisa membuat wanita itu bisa masuk surga pertama kali? Setelah bertanya-tanya, akhirnya Siti Fatimah mengetahui rumah seorang wanita yang bernama Muti’ah. Kali ini ia ingin bersilaturahmi ke rumah wanita tersebut, ingin melihat lebih dekat kehidupannya. Waktu itu, Siti Fatimah berkunjung bersama dengan anaknya yang masih kecil, Hasan. Setelah mengetuk pintu, terjadilah dialog.
“Di luar, siapa?” kata Muti’ah tidak membukakan pintu.
“Saya Fatimah, putri Rasulullah”
“Oh, iya. Ada keperluan apa?”
“Saya hanya berkunjung saja”
“Anda seorang diri atau bersama dengan lainnya?”
“Saya bersama dengan anak saya, Hasan?”
“Maaf, Fatimah. Saya belum mendapatkan izin dari suami saya untuk menerima tamu laki-laki”
“Tetapi Hasan masih anak-anak”
“Walaupun anak-anak, dia lelaki juga kan? Maaf ya. Kembalilah besok, saya akan meminta izin dulu kepada suami saya”
“Baiklah” kata Fatimah dengan nada kecewa. Setelah mengucapkan salam, ia pun pergi.
Keesokan harinya, Siti Fatimah kembali berkunjung ke rumah Muti’ah. Selain mengajak Hasan, ternyata Husein (saudara kembar Hasan) merengek meminta ikut juga. Akhirnya mereka bertiga pun berkunjung juga ke rumah Muti’ah. Terjadilah dialog seperti hari kemarin.
“Suami saya sudah memberi izin bagi Hasan”
“Tetapi maaf, Muti’ah. Husein ternyata merengek meminta ikut. Jadi saya ajak juga!”
“Dia perempuan?”
“Bukan, dia lelaki”
“Wah, saya belum memintakan izin bagi Husein.”
“Tetapi dia juga masih anak-anak”
“Walaupun anak-anak, dia juga lelaki. Maaf ya. Kembalilah esok!”
“Baiklah” Kembali Siti Fatimah kecewa.
Namun rasa penasarannya demikian besar untuk mengetahui, rahasia apakah yang menyebabkan wanita yang akan dikunjunginya tersebut diperkanankan masuk surga pertama kali. Akhirnya hari esok pun tiba. Siti Fatimah dan kedua putranya kembali mengunjungi kediaman Mutiah. Karena semuanya telah diberi izin oleh suaminya, akhirnya mereka pun diperkenankan berkunjung ke rumahnya. Betapa senangnya Siti Fatimah karena inilah kesempatan bagi dirinya untuk menguak misteri wanita tersebut.
Menurut Siti Fatimah, wanita yang bernama Muti’ah sama juga seperti dirinya dan umumnya wanita. Ia melakukan shalat dan lainnya. Hampir tidak ada yang istimewa. Namun, Siti Fatimah masih penasaran juga. Hingga akhirnya ketika telah lama waktu berbincang, “rahasia” wanita itu tidak terkuak juga. Akhirnya, Muti’ah pun memberanikan diri untuk memohon izin karena ada keperluan yang harus dilakukannya.
“Maaf Fatimah, saya harus ke ladang!”
“Ada keperluan apa?”
“Saya harus mengantarkan makanan ini kepada suami saya”
“Oh, begitu”
Tidak ada yang salah dengan makanan yang dibawa Muti’ah yang disebut-sebut sebagai makanan untuk suaminya. Namun yang tidak habis pikir, ternyata Muti’ah juga membawa sebuah cambuk.
“Untuk apa cambuk ini, Muti’ah?” kata Fatimah penasaran.
“Oh, ini. Ini adalah kebiasaanku semenjak dulu”
Fatimah benar-benar penasaran. “Ceritakanlah padaku!”
“Begini, setiap hari suamiku pergi ke ladang untuk bercocok tanam. Setiap hari pula aku mengantarkan makanan untuknya. Namun disertai sebuah cambuk. Aku menanyakan apakah makanan yang aku buat ini enak atau tidak, apakah suaminya seneng atau tidak. Jika ada yang tidak enak, maka aku ikhlaskan diriku agar suamiku mengambil cambuk tersebut kemudian mencambukku. Ini aku lakukan agar suamiku ridlo dengan diriku. Dan tentu saja melihat tingkah lakuku ini, suamiku begitu tersentuh hatinya. Ia pun ridlo atas diriku. Dan aku pun ridlo atas dirinya”
“Masya Allah, hanya demi menyenangkan suami, engkau rela melakukan hal ini, Muti’ah?”
“Saya hanya memerlukan keridloannya. Karena istri yang baik adalah istri yang patuh pada suami yang baik dan sang suami ridlo kepada istrinya”
“Ya… ternyata inilah rahasia itu”
“Rahasia apa ya Fatimah?” Mutiah juga penasaran.
“Rasulullah Saw mengatakan bahwa dirimu adalah wanita yang diperkenankan masuk surga pertama kali. Ternyata semua gara-gara baktimu yang tinggi kepada seorang suami yang sholeh.”
Subhanallah.
***
Sumber: Kaskus.us

Kamis, 08 September 2011

pengen masuk surga ???


Seperti apakah penghuni surga itu? Ada banyak hadist yang menerangkan tentang keadaan ahli surga, Telah di terangkan dalam hadist tirmidzi no:2458,2460

Bahwa wajah penghuni surga itu bersinar bagaikan bulan purnama, coba anda bayangkan sinar bulan purnama di dunia ini di kumpulkan dan di letakkan di wajah, subhanallah..

Bahwa penghuni surga itu tidaklah meludah, ingusan, dan tidak pula buang air besar/kecil, kalau di dunia orang tidak bisa buang air besar/kecil rumah sakit tempatnya,

Bahwa wadah2 atau tempat2 terbuat dari emas ,sisir terbuat dari emas dan perak, perapian terbuat dari kayu alwah (seperti kayu cendana)

Bahwa keringat ahli surga itu berbau misk, beda dengan keringat kita yang kadang berbau kambing,

Bahwa ahli surga di sediakan 2 istri yang apabila kita melihat betisnya maka kita bisa melihat sumsumnya karena kecantikannya, bagi yang beristri coba lihatlah betisnya, kira2 banyak panunya mungkin,

Bahwa penghuni surga itu tidak geger, tidak marah, hati orang banyak bagaikan hati satu orang.,

Dan penghuni surga selalu bertasbih kepada Allah setiap pagi dan sore



secuil cerita tentang kenikmatan surga, dan masih banyak lagi kenikmatan-kenikmatan penghuni surga

Rabu, 07 September 2011

Cinta tak pernah meminta untuk menanti


Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.

Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.

’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.

’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.

Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ””Aku?”, tanyanya tak yakin.”Ya. Engkau wahai saudaraku!””Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?””Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?””Entahlah..””Apa maksudmu?””Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!””Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.

’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ”‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu.”

Kemudian Nabi saw bersabda: “ Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”

Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:“ Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.”

(Kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, Bab 4).

Senin, 22 Agustus 2011

coba coba ?

udah lama punya akun blog , tapi ga pernah bisa, akhirnya ya gini jadinya
nulisnya ngawur ga teratur , pokok angger muni, arep nambahi gambar yo belum
bisa, tapi biarlah kalau ga di coba mana pernah bisa , biarpun yang laen ud pada pinter2,